Balon Keinginan
Oleh: Yanti Susanti (Bobo No. 10/XXX)
Setiap warga kerajaan Khayali bisa mendapatkan apa
saja yang mereka
inginkan. Di sebelah timur istana Raja Don ada sebuah ruangan ajaib.
Kamar Keinginan namanya. Kamar itu sangat luas. Di langit-langitnya yang
tinggi terdapat Balon-Balon Keinginan berwarna-warni. Besar, kecil,
berterbangan dan bergerak bebas. Permukaaan balon-balon itu berkilauan.
Kalau saling bertabrakan akan memantul-mantul.
Setiap warga Khayali boleh memasuki kamar itu. Jika membayar dua keping,
mereka bisa menyewa alat penangkap balon. Warga tidak boleh membawa
alat sendiri.
Berbagai macam balon keinginan ada di situ. Asal sabar, siapa saja bisa
meraih balon-balon tersebut. Balon berisi keinginan yang mudah
dikabulkan biasanya melayang lebih rendah. Gerakannya juga lebih lamban.
Tipo kecil adalah warna kerajaan Khayali. Ia sering berkhayal memiliki
dua keping uang. Ia ingin menangkap balon “Pembuat PR”. Supaya ia tak
perlu mengerjakan PR-nya setiap hari. Namun, Tipo merasa heran melihat
ayahnya. Ayah Tipo, Pak Seblu, tidak tertarik pada balon keinginan.
Pada suatu hari, Pak Seblu dipanggil menghadap Raja Don. Raja Don
memerintahnya untuk membuat Gapura Istana yang baru. Gapura itu harus
lebih bagus dan megah. Pak Seblu memang sudah biasa merancang rumah dan
taman. Tapi baru kali ini mendapat pesanan dari Raja. Pak Seblu senang,
tapi juga gugup dan takut akan mengecewakan Raja Don.
Tiga hari Pak Seblu melamun saja di bawah pohon halaman Istana.
Kertas
dan pena tergeletak di sampingnya. Setelah itu, Pak Seblu mengurung
diri di ruang kerjanya. Hanya sesekali ia keluar. Kumis dan jenggotnya
memanjang tak terurus.
Tipo kesepian, karena biasanya ia bercanda dan mengobrol dengan ayahnya.
Untung ibunya tahu kesepian hati Tipo. Setiap sore, saat ayahnya di
ruang kerja, Tipo berjalan-jalan dengan Ibu.
“Bu, kenapa Ayah tidak mengambil saja balon keinginan “Gapura Baru Istana”? Supaya Ayah tak perlu susah-susah bekerja.”
Ibu tersenyum sedikit, lalu berkata, “Tipo, jawaban pertanyaan itu
harus kamu temukan sendiri. Semua warga negeri ini harus menemukan
jawaban masalahnya sendiri. Kalau belum mendapatkannya, dia tidak akan
pernah menjadi dewasa.” Mendengar jawaban itu, Tipo hanya diam. Ia tidak
mengerti maksud perkataan ibunya.
Suatu sore, Tipo mengisi waktunya dengan menyusun pasel dari Paman
Miwin. Pasel kayu itu susah sekali. Tapi menurut gambar petunjuknya,
pasel itu akan membentuk gambar jembatan gantung yang indah sekali.
Esoknya, ayah Tipo sudah bercukur rapi. Dengan wajah berseri Pak Seblu
berkata bahwa gambar rancangannya sudah selesai. Sambil sarapan ayah
Tipo berkata ia akan menghadap Raja. Tipo senang sekali. “Ah, Ayah akan
segera bisa menemaniku membuat pasel itu,” pikirnya.
Di jalan sepulang sekolah Tipo menemukan sekeping uang. “Wow, ini hari
keberuntunganku,” serunya. Tetapi di rumah, Ayah belum pulang dari
istana. Sampai petang juga belum. Akhirnya ketika Tipo sudah mengatuk
barulah Ayah pulang. Rupanya Raja Don menyetujui rancangan Pak Seblu.
Dan langsung menyuruh Pak Seblu untuk mempersiapkan bahan bangunan dan
pekerjanya.
Tipo tidur dengan gelisah. “Ayah pasti akan sibuk lagi sampai Gapura itu selesai,” keluhnya.
Bangun
tidur, dipandanginya pazel yang setengah jadi itu. Rasanya Tipo ingin
menendangnya. Mula-mula ia memang senang mengerjakannya. Tetapi sekarang
ia menemukan bagian yang sulit. Tipo ingin dibantu ayahnya. Sambil
bersiap ke sekolah Tipo melamun. Lalu, “Aha, aku tahu!” Ia berlari
menemui Ibu dan meminta uang, “Satu kepiiiiing, saja Bu, boleh ya?”
rayunya. Ibu ingin menggembirakan hati Tipo, jadi ia memberikan satu
keping.
Tipo punya rencana. Sepulang sekolah, ia pergi ke Kamar Keinginan. Ia
ingin menangkap balon “Gapura Baru Istana” supaya tugas Bapak segera
selesai. Dimasukinya Kamar Keinginan itu dengan takjub. Kamar itu lebih
indah dari cerita orang kepadanya. Pak Penjaga tersenyum-senyum melihat
Tipo masih melongo. “Nak, ini tangga dan jaringnya. Maaf, saya hanya
boleh membantu sampai di pintu saja”, katanya. “Selamat, semoga
keinginanmu tercapai, Nak.” Lalu ditutupnya pintu besar itu. Bam!
Tipo repot menggeret tangga dan mengempit jaring yang lebih panjang
dari tubuhnya. Dipanjatnya tangga di tengah ruangan. Matanya
mencari-cari. Tak lama kemudian ia melihat balon “Gapura” sedang
melayang menjauh. Susah payah diraihnya dengan jaring. Tidak berhasil.
Dilihatnya balon “Pembuat PR” lewat. Dia tak mau balon itu.
Tipo akhirnya merasa lelah. Ia berbaring di lantai, beristirahat.
Kemudian dicobanya lagi. Sampai pegal leher dan lengannya, tapi balon
“Gapura” itu tak juga tertangkap. Ia tak mau menyerah. Ia ingin
membebaskan ayahnya dari kerja kerasnya. Akhirnya yang tertangkap malah
balon kecil bertulisan “Pasel Selesai”. Ingin dilepasnya lagi balon ini,
dan menangkap balon “Gapura” itu. Tapi dia sudah sangat lelah.
Diputuskannya untuk membawa balon itu pulang. Daripada uang dua
kepingnya habis percuma.
Sampai di rumah, Ibu dan Ayah sudah cemas menunggunya. Mereka menemani
Tipo ke kamarnya. Dan ajaib betul! Pasel jembatan itu sudah jadi! Indah
sekali, tapi anehnya Tipo tidak terlalu senang. “Ah, lebih jika aku
sendiri yang berhasil menemukan keping pasel yang tepat. Lebih puas!”
katanya.
“Sudah mulai besar anak kita, ya?” kata Ayah tersenyum pada Ibu. “Sudah
tahu kalau bersusah payah mencapai keinginan akan lebih memuaskan.”
“Sebetulnya, di Kamar Keinginan itu aku juga bekerja keras, lo, Yah,
Bu. Padahal kupikir menangkap Balon Keinginan itu gampang,” celetuk
Tipo. Mereka bertiga pun tertawa terbahak-bahak.
Mengapa Beo Selalu Menirukan Suara
Oleh: Maria Erliza
(Bobo No. 8/XXX)
Dahulu kala, hewan-hewan di hutan bisa berbicara seperti manusia. Mereka
bercakap, bekerja sambil bercakap, juga hidup rukun dan damai. Pada
suatu hari Ibu Peri Penjaga Hutan mengumpulkan penghuni rimba. Ia
berkata,
“Anak-anakku, Sang Pencipta telah menciptakan makhluk baru. Namanya
manusia. Sang Pencipta memutuskan bahwa manusialah yang akan berbicara
dengan bahasa kita. Dan kita diperintahkan untuk mencari bahasa dan
suara baru untuk kita pakai mulai saat ini.”
Pada mulanya para penghuni rimba terkejut. Namun mereka sadar bahwa tidak mungkin menolak kehendak Sang Pencipta.
“Ibu Peri Penjaga Hutan, kami tunduk kepada kehendak Sang Pencipta.
Tapi sekarang kami belum bisa mencari bahasa baru untuk kami pakai.
Berilah kami waktu,” ujar Singa mewakili teman-temannya.
“Aku mengerti. Kalian diberi waktu satu minggu. Kalian akan
berkumpul lagi disini dan memberitahu padaku bahasa apa yang kalian
pilih. Setelah itu, pakailah bahasa serta suara itu, dan lupakan bahasa
manusia.”
Maka pulanglah penduduk hutan ke tempat masing-masing. Mereka mulai
berpikir keras untuk mencari suara yang gagah dan cocok untuk mereka
masing-masing.
Begitulah, hari demi hari penduduk hutan sibuk bersuara. Mencari-cari
suara yang akan mereka pakai selanjutnya. Singa yang telah dinobatkan
sebagai raja hutan karena keberaniannya, lebih dahulu memilih suara
mengaum.
“Aouuuuum,” katanya dengan gagah memamerkan suaranya. Penduduk hutan
yang lain senang mendengarnya. Mereka merasa suara itu pas benar dengan
bentuk tubuh singa yang gagah.
Tapi tidak semua hewan senang mendengarnya. Burung Beo yang usil malah menertawakan suara itu.
“Hahaha, mirip orang sakit gigi,” cetus Beo sambil tertawa terbahak-bahak.
Singa sangat malu mendengarnya.
Begitulah, hari berganti hari, semuanya mencoba berbagai suara kecuali
Beo. Ia sibuk mengejek suara-suara yang berhasil ditemukan.
“Hahaha, seperti suara pintu yang tidak diminyaki,” ejek Beo kepada Jangkrik yang menemukan suara berderik.
“Hahaha, kudengar nenek-nenek tertawa,” ejeknya kepada Kuda.
“Ban siapa yang bocor? Hahaha,” ia menertawakan suara desis Ular.
Begitulah pekerjaan Beo setiap hari. Ia sibuk mengintip dan
menertawakan penduduk hutan lainnya yang mencoba suara baru.
Teman-temannya tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka malu dan langsung
menghindar dari Beo. Tapi Beo selalu berhasil menemukan dan menirukan
suara mereka.
“Mbeeeek,” tirunya ketika melihat Kambing.
“Ngok-ngooook,” tirunya ketika melihat Babi.
Tak terasa sudah satu minggu. Penduduk hutan harus berkumpul kembali untuk mengumumkan suara yang mereka pilih.
Ibu Peri Penjaga Hutan memanggil mereka satu per satu. Beo saja yang
masih saja tertawa. Ia pikir teman-temannya bodoh, karena suara yang
mereka temukan lucu-lucu.
Tibalah giliran Beo untuk mengumumkan suara barunya. Ia maju ke depan.
“Mbeeeek,” jeritnya.
“Hei itu suaraku,” kata Kambing.
Yang lain tertawa.
Beo tertegun. Ia baru sadar, selama ini ia terlalu sibuk mengejek teman-temannya sehingga lupa untuk mencari suaranya sendiri.
“Muuu,…guk-guk,…meong,” Beo panik. Ia menirukan saja suara yang pernah
ia dengar. Tentu saja Sapi, Anjing, dan Kucing tertawa terbahak-bahak.
Beo sangat malu. Akhirnya ia menangis tersedu-sedu. Ia minta maaf kepada teman-temannya.
Dengan tersenyum Ibu Peri Penjaga Hutan berkata, “Sudahlah, kamu akan
tetap kuhadiahkan sebuah suara. Tapi sebagai pelajaran, kau akan tetap
menirukan suara orang, sehingga kau akan ditertawakan selamanya.”
Begitulah riwayatnya, mengapa burung beo selalu menirukan suara-suara.
Kasut Bidadari
Oleh: Emmi Mira
(Bobo No. 35/XXIX)
Kasut Bidadari adalah nama sejenis
Anggrek
yang tumbuh di hutan. Kasut berarti sepatu. Anggrek Kasut Bidadari yang
tumbuh di tanah ini sangat indah. Bunganya seperti disulam dengan
benang emas. Tepiannya berwarna perak. Karena indahnya, ada dongeng
tentang anggrek Kasur Bidadari ini. Beginilah ceritanya…
Dahulu kala, di kerajaan kahyangan, ada tujuh puteri yang sangat
jelita. Nama-nama mereka diambil dari nama bunga. Mawar, Dahlia,
Cempaka, Tanjung, Kenanga, Cendana dan si bungsu Melati. Mereka
masing-masing mempunyai kesukaan yang berbeda. Yang paling menonjol dari
antara mereka adalah si bungsu Melati.
Melati sangat suka bemain-main di hutan Rimba Hijau. Hutan itu sering
dikunjungi manusia. Ayah mereka berulang kali melarang Melati bermain di
hutan itu. Sang ayah takut jika puterinya itu bertemu dengan manusia.
Di rimba itu terdapat sungai dengan air terjun yang indah. Di saat
Cuaca cerah, gemercik airnya membias memantulkan sinar matahari. Sehingga terbentuklah warna-warna indah seperti pelangi.
Suatu hari Melati mengajak semua kakaknya ke Rimba Hijau. Mereka turun
ke bumi dengan meneliti pelangi. Mereka mengenakan pakaian dan sepatu
yang indah. Setibanya di bumi, mereka asyik bermain di air terjun.
Sedang asyiknya mereka bermain, lewatlah seorang pemburu. Ia sangat terkejut melihat ketujuh bidadari itu.
"Hei, siapa kalian? Aku belum pernah melihat kalian!" seru pemburu itu.
Ketujuh puteri itu sangat terkejut. Mereka langsung terbang melayang ke
angkasa. Saking terburu-buru, sebelah sepatu Melati jatuh ke bumi.
Melati bermaksud mengambilnya. Namun kakak-kakaknya melarangnya. Ketujuh
bidadari itu lalu kembali meniti pelangi. Perlahan-lahan pelangi itu
pun mulai menghilang.
Pemburu tadi terpana menyaksikan kepergian ketujuh bidadari itu. Ia
lalu memungut sebelah sepatu Melati yang tadi terjatuh. Namun, sepatu
itu tiba-tiba terjatuh lagi dari tangannya. Pada saat itulah terjadi
kejadian aneh. Sepatu tadi perlahan-lahan berubah menjadi bunga yang
indah. Setiap helai kelopaknya seperti tersulam dari benang emas dan
perak.
"Aneh… kasut tadi mengapa bisa menjadi bunga? Tentu ketujuh gadis tadi
adalah bidadari…" gumam pemburu itu. "Karena berasal dari kasut,
kunamakan saja bunga ini Kasut Bidadari," gumamnya lagi.
Demikianlah… Akhirnya sampai kini bunga itu dinamakan Kasut Bidadari.